(Tiga Serangkai Perintis Fatayat NU: Murthasiyah, Khuzaimah Mansur, dan Aminah)
Berdirinya Fatayat NU tidak bisa
dilepaskan dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai
organisasi induknya, dan sejarah Indonesia sebagai tanah airnya.
Penjajahan selama bertahun-tahun telah menyebabkan bangsa Indonesia
terpuruk. Perjuangan melawan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan
keterpurukan akibat penjajahan ini kemudian mengkristal dan melahirkan
semangat kebangkitan di seantero negeri hingga mencapai puncaknya pada
tahun 1908 yang dikenal sebagai tahun Kebangkitan Nasional. Kalangan
pesantren merespon spirit ini dengan membentuk berbagai organisasi
pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun
1916, Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri
(Kebangkitan Pemikiran) pada 1918 yang bergerak di bidang pendidikan
sosial politik, Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Saudagar) yang
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Sementara
itu, di Saudi Arabia terjadi perkembangan cukup penting di mana Raja
Ibnu Saud ingin menjadikan Madzhab Wahabi di Mekah sebagai asas tunggal
dan karenanya ingin menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun
Pra-Islam yang selama ini kerap diziarahi karena dianggap bid'ah.
Perkembangan ini disambut baik oleh kelompok modernis di Indonesia, baik
oleh kalangan Muhammadiyah pimpinan oleh Ahmad Dahlan, maupun oleh PSII
(Partai Sarekat Islam Indonesia) pimpinan H.O.S. Cokroaminoto.
Sebaliknya kalangan pesantren menolaknya.
Perbedaan
sikap ini menyebabkan kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota
Kongres al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925 dan tidak dilibatkan
dalam Mu'tamar 'A'lam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah
yang akan mengesahkan keinginan Raja tersebut. Kalangan Pesantren
kemudian membuat delegasi sendiri bernama Komite Hejaz yang diketuai
oleh KH. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang diwakili
oleh Komite ini dan tantangan dari umat Islam dari berbagai penjuru
dunia, akhirnya Raja pun mengurungkan niatnya. Hingga saat ini Mekah
membebaskan umat Islam dengan madzhab apapun untuk beribadah, dan
peninggalan sejarah serta peradaban yang snagat berharga nilainya pun
tidak jadi dihancurkan.
Penolakan
Kongres al-Islam di Yogyakarta pada kalangan pesantren, keberhasilan
misi Komite Hejaz, dan telah adanya organisasi-organiasi kecil di
kalangan pesantren kemudian mendorong mereka untuk membentuk organisasi
besar yang bisa mewadahi seluruh kalangan pesantren. Pada tanggal 31
Januari 1926 bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H masih dengan semangat
kebangkitan dibentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
dan memilih KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
NU
memang dikenal sebagai organisasi Muslim tradisional dan sejak awal
anggotanya adalah laki-laki. Namun demikian, pemimpin NU sejak awal
telah merespon isu-isu perempuan secara progresif. KH. Wahid Hasyim yang
merupakan putera KH. Hasyim Asy'ari misalnya pernah membolehkan
perempuan menjadi seorang hakim. Isu perempuan semakin mendapatkan
perhatian ketika Kiai Dahlan mengusulkan berdirinya organisasi perempuan
NU di Kongres NU ke XIII di Menes Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938.
Kongres ini sangat penting karena mulai membicarakan tentang perlunya
perempuan mendapatkan kesamaan hak untuk mendapatkan didikan agama
melalui NU. Ketika itu kongres baru menyetujui perempuan untuk menjadi
anggota NU yang hanya bisa menjadi pendengar dan pengikut dan tidak
boleh duduk dalam kepengurusan.
Perkembangan
penting kembali terjadi pada kongres NU ke XV di Surabaya pada tanggal
5-9 Desember 1940. Ketika itu, terjadi perdebatan sengit merespon usulan
agar anggota perempuan NU mempunyai struktur pengurusnya sendiri di
dalam NU. Kiai Dahlan termasuk mereka yang gigih memperjuangkan agar
usulan tersebut diterima. Hingga sehari sebelum kongres berakhir,
peserta tidak mampu memutuskan hingga akhirnya disepakati untuk
menyerahkan keputusan akhirnya pada Pengurus Besar Syuriah NU.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Kiai Dahlan untuk mendapatkan
persetujuan secara tertulis dari KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahab
Hasbullah. Setelah didapatkan, maka peserta kongres pun dengan mudah
menyetujui perlunya anggota perempuan NU untuk memiliki struktur
kepengurusannya sendiri di dalam NU. Pada Kongres NU ke-XVI di
Purwokerto tanggal 29 Maret 1946, struktur kepengurusan anggota
perempuan NU disahkan dan diresmikan sebagai bagian dari NU. Namanya
ketika itu adalah Nahdhlatul Ulama Muslimat yang disingkat NUM. Ketua
pertama terpilihnya adalah Ibu Chadidjah Dahlan dari Pasuruan yang tak
lain adalah isteri Kiai Dahlan.
Kebangkitan
perempuan NU juga membakar semangat kalangan perempuan muda NU yang
dipelopori oleh tiga serangkai, yaitu Murthasiyah (Surabaya), Khuzaimah
Mansur (Gresik), dan Aminah (Sidoarjo). Pada Kongres NU ke XV tahun
1940 di Surabaya, juga hadir puteri-puteri NU dari berbagai cabang yang
mengadakan pertemuan sendiri yang menyepakati dibentuknya Puteri
Nahdlatul Ulama Muslimat (Puteri NUM). Mereka sebetulnya sudah
mengajukan kepada Kongres NU agar disahkan sebagai organisasi yang
berdiri sendiri di dalam NU, namun Kongres hanya menyetujui Puteri NUM
sebagai bagian dari NUM. Dalam dua tahun, Puteri NUM meminta agar
mempunyai Pimpinan Pusatnya sendiri yang terpisah dari NUM karena
organisasi Puteri NUM di tingkat Cabang terus bertambah.
Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kemudian menyetujui pembentukan Pengurus
Pusat Puteri NUM yang diberi nama Dewan Pimpinan Fatayat NU pada tanggal
26 Rabiul Akhir 1939/14 Februari 1950. Selanjutnya Kongres NU ke-XVIII
tanggal 20 April-3 Mei 1950 di Jakarta secara resmi mengesahkan Fatayat
NU menjadi salah satu badan otonom NU. Namun berdasarkan proses yang
berlangsung selama perintisan hingga ditetapkan, FNU menyatakan dirinya
didirikan di Surabaya pada tanggal 24 April 1950 bertepatan dengan 7
Rajab 1317 H. Pucuk Pimpinan Fatayat NU pertama adalah Nihayah Bakri
(Surabaya) sebagai Ketua I dan Aminah Mansur (Sidoarjo) sebagai Ketua
II. Kepengurusan pada waktu itu hanya mempunyai dua bagian, yaitu bagian
penerangan danpendidikan.